Minggu, 16 Mei 2010

Legenda Sepakbola Dunia

Kisah tentang para Legenda Sepakbola Dunia, cerita tentang karir mereka di Lapangan Hijau, keluarga, serta sisi kehidupan lain para maestro sepakbola Dunia. Mulai dari Legenda Besar seperti Diego Maradona, Pele, hingga zaman Zinedine Zidane.
27 Februari, 2009

Maradona duduk bersama Pele di sebuah acara talkshow di televisi Argentina. Legenda sepak bola Argentina itu disodori pertanyaan yang mungkin sudah ia duga. “Di antara dua pemain hebat, siapa paling hebat di Dunia? Anda atau Pele?”

Dengan cepat dan diplomatis, Maradona menjawab, “Tergantung ibu siapa yang Anda tanya? Ibu saya memilih akulah yang lebih hebat. Ibu Pele pasti juga memilihnya.” Tawa mereka pun berderai.

Ya, Pele dan Maradona, dua nama ini selalu melekat dalam sejarah sepak bola dunia. Ke mana pun olahraga paling populer di dunia ini digiring, ke situ pula Pele dan Maradona ikut terbawa. Organisasi sepak bola dunia FIFA pun, di pengujung 2000, menobatkan mereka sebagai pemain terbaik sepanjang milenium. Dua-duanya terbaik, tak ada yang lebih baik.

Mereka adalah ikon yang tak mungkin dilupa. Pele, misalnya, adalah simbol sportivitas, persahabatan dan keindahan. Ke berbagai belahan dunia ia mempopulerkan sepak bola. Di lapangan, ia dikenal sebagai pemain yang mampu melompat setinggi 180 sentimeter, menahan bola dengan dadanya di udara, dan melakukan tendangan voli yang sangat keras dan akurat. Ia adalah pahlawan bagi Brasil saat merebut Piala Jules Rimet selama-lamanya pada 1970.

Maradona ada di sisi yang lain. Ia contoh paling tepat untuk menggambarkan bagaimana bermain di olahraga keras ini: binal dan sekaligus jenius. Gol tangan Tuhan saat menyingkirkan Inggris pada Piala Dunia 1986 menggambarkan karakternya. Tapi pada saat yang sama, ia menciptakan gol indah dengan melewati hadangan tujuh pemain Inggris, sendirian. Maradona adalah pahlawan bagi Argentina pada Piala Dunia 1986.

Dua legenda ini punya kesamaan: bernomor punggung 10. Sebuah nomor yang bagi Phytagoras dan kelompok ilmuwan matematika yang hidup pada imperium Yunani pada abad keenam dianggap sebagai “nomor alam semesta”. Mereka menyebutnya Tetratis Suci. “Baik orang Yunani maupun Yahudi menganggap 10 adalah nomor sempurna,” tulis sejarawan Alfred G. Hefner.

“Phytagoras beranggapan nomor 10 menjabarkan konsep aritmatik dan proporsi yang selaras dalam alam semesta. Semua bangsa menggunakan numerologi ini karena setiap kali mencapai nomor 10, mereka kembali ke nomor 1, nomor penciptaan,” ungkap Hefner.

Dalam pandangan Phytagoras, dunia tercipta karena kekuatan nomor. Kekuatan inilah yang antara lain ditemukan pada Pele dan Maradona, “para pelukis yang sempurna” di atas lapangan hijau. Bahkan, untuk Maradona, begitu berjasanya pada klub Napoli, kota di Italia itu tak memberikan kostum bernomor 10 pada pemain mana pun setelah Maradona. Nomor ini telah menjadi trademark dan bahkan hak milik Maradona selama-lamanya.

Di buku ini, Richard Williams, penulis olahraga dari Inggris, memaparkan biografi para pencetak kesempurnaan di lapangan bola. Tak cuma Pele dan Maradona, tapi juga Puskas, Gianni Rivera, Netzer, Platini, Roberto Baggio, Enzo Francescoli, David Bergkamp, dan Zenedine Zidane.

Puskas dari Hungaria mewakili era lima puluhan. Pele dari Brasil dan Gianni Rivera dari Italia di era enam puluhan. Platini dari Prancis di era tujuh puluhan, Maradona di era delapan puluhan, Baggio dan Zidane di era sembilan puluhan. Mereka ini tak cuma berperan sebagai midfilder dan playmaker, tapi juga inspirator dan fantasista—sang pencipta fantasi. Puskas, misalnya, membawa Real Madrid memenangi Piala Eropa lima kali berturut-turut antara 1955 dan 1960. Seperti namanya, ia dijuluki “Si Gesit”. Tendangannya amat kuat. Media massa pun menamai tendangannya sebagai “ketapel raksasa”. Di masa jayanya, Hungaria menghancurkan Inggris 6-3 di Wembley pada 1953 dan 7-1 di Budapest.

Sedangkan Francescoli dikenal sebagai pemain Uruguay era 1980-an yang paling bersih, tanpa skandal, tak pernah mengucap kata-kata kasar. Tak heran Zidane amat memuja “Sang Pangeran sepak bola” itu. Saat merintis karier sebagai pemain profesional, Zidane memajang poster Francescoli di kamarnya.

Untuk cerita beberapa pemain— Puskas, Pele, Maradona, dan Platini —Williams menyuguhkan gambaran profil yang lengkap dan deskriptif. Tapi selebihnya, buku ini menghamparkan cerita yang kering. Pada Baggio, misalnya, hal yang bisa dicatat—dan ini ditulis dalam 3 alinea—adalah kebiasaannya menyendiri. Di saat pemain lain berpesta, ia lebih memilih menyingkir ke kuil Buddha.

Bagian paling mengharukan di buku ini ada pada cerita masa kecil Pele. Ketika ia dan ayahnya, Dondinho, menyimak pertandingan Piala Dunia dari radio, yang diadakan pertama kali setelah Perang Dunia II, ia melihat ayahnya menangis saat mengetahui Brasil dikalahkan Uruguay. Pele kecil pun menghibur ayahnya yang juga pemain bola. “Jangan khawatir, kelak aku akan menebus kekalahan itu,” ucapnya.

Sang ayah kemudian mengajaknya ke lapangan, mengajari bagaimana mengontrol bola dengan dada. “Jika kamu menarik napas saat bola melayang di udara dan membuang napas begitu bola menyentuhmu, dada yang rileks akan berfungsi sebagai bantal yang empuk dan bola akan jatuh ke kakimu, tak akan terpental menjauhimu.”
Sejak itulah Pele dikenal sebagai pemain tak tertandingi. Pele, juga sembilan pemain bernomor 10 di buku ini, telah memainkan peran terpentingnya dalam sepak bola. Mereka inilah, meminjam sebutan sebuah media pada Puskas, “Tuan di lapangan bola”.

0 comments:

Posting Komentar

Recent Post

Mesa Javier's Blog © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute